Pembelajar Sejati
PEMBELAJAR sejati adalah mereka yang mencari "jawaban pasti" dan berusaha sungguh-sungguh dapat menuntaskan permasalahan; siapa saya, dari mana berasal, mengapa diberadakan di dunia, apa yang harus dilakukan, ke mana akan pulang (kembali), kepada siapa harus bertanggung jawab, dan siapa yang harus digugu dan ditiru (tutur kata dan perilakunya).
Proses dan waktu pencariannya dilakukan sepanjang hayat dikandung badan. Memenuhi sabda Nabi saw., carilah ilmu sejak ayunan sampai liang lahat (mati). Maksudnya, selama hidup di dunia waktunya digunakan untuk mencari ilmu di samping menjaga tegaknya hablun minallah dan hablun minanas. Wilayah pencariannya, sebagaimana perintah, "carilah ilmu sampai ke negeri Cina". Perintah ini "sangat rasional" bila diintegrasikan (menurut rumusan matematika) menjadi "carilah ilmu walau sampai ke penjuru dunia".
Sedangkan "kunci mutlak" untuk menemukan "jawaban pasti"-nya,
pertama, mau mengakui kebodohan diri. Secara ksatria (lapang dada) mau menerima kenyataan bahwa sejak masih di alam kandungan sana telah divonis oleh-Nya zhaluman jahula (kejam lagi bodoh) (Q.S. 33:72). Menyadari pula bahwa bagaimanapun hebatnya akal pikiran (dalam menciptakan ilmu pengetahuan teknologi, maupun penguasaan empat kitab suci - beserta ribuan "kitab" derivasinya) tetaplah zhaluman jahula. Menerapkan ilmunya padi, semakin merunduk semakin berisi. Semakin banyak pengetahuan yang dimiliki, semakin "ngrumangsani" (merasai) kebodohan dan kekurangannya diri.
Kedua, karena masalahnya "melangit" maka memasyarakatkan untuk berguru (mencari guru) yang mengadanya di "langit". Sebab, sang "resi" ini di-"pingit" oleh Tuhan sendiri (Satriya Piningit). Mencontoh pengalaman Nabi Musa, sekalipun telah diangkat sebagai rasul/utusan-Nya (yang secara logika sudah sangat sempurna, tidak ada yang melebihi kesempurnaan ilmunya), ternyata masih bersedia ketika diperintah Tuhan berguru pada Nabi Khidhir -- walaupun akhirnya gagal (Q.S. 18:78). Memenuhi pitutur Sultan Agung dalam tembang "Dhandhang Gula". Lamun sira hanggeguru kaki. Amiliha manungsa kang nyata... Bila kamu hendak berguru/pilihlah manusia yang nyata, imamu mubin (imam yang nyata keimanannya istilah lain dari rasul/khalifah-Nya).
Ketiga, bersedia selalu meng-update ilmunya. Tidak pernah merasa puas atas ilmu (pengetahuan dan pengalaman) yang telah diterima. Ibarat berlayar, semakin jauh ke tengah samudra, semakin menyadari betapa luasnya samudra (ilmu) itu. Semakin menyadari pula betapa tak berdayanya diri di hadapan luasnya samudra ilmu Tuhan.
PEMBELAJAR sejati adalah mereka yang mencari "jawaban pasti" dan berusaha sungguh-sungguh dapat menuntaskan permasalahan; siapa saya, dari mana berasal, mengapa diberadakan di dunia, apa yang harus dilakukan, ke mana akan pulang (kembali), kepada siapa harus bertanggung jawab, dan siapa yang harus digugu dan ditiru (tutur kata dan perilakunya).
Proses dan waktu pencariannya dilakukan sepanjang hayat dikandung badan. Memenuhi sabda Nabi saw., carilah ilmu sejak ayunan sampai liang lahat (mati). Maksudnya, selama hidup di dunia waktunya digunakan untuk mencari ilmu di samping menjaga tegaknya hablun minallah dan hablun minanas. Wilayah pencariannya, sebagaimana perintah, "carilah ilmu sampai ke negeri Cina". Perintah ini "sangat rasional" bila diintegrasikan (menurut rumusan matematika) menjadi "carilah ilmu walau sampai ke penjuru dunia".
Sedangkan "kunci mutlak" untuk menemukan "jawaban pasti"-nya,
pertama, mau mengakui kebodohan diri. Secara ksatria (lapang dada) mau menerima kenyataan bahwa sejak masih di alam kandungan sana telah divonis oleh-Nya zhaluman jahula (kejam lagi bodoh) (Q.S. 33:72). Menyadari pula bahwa bagaimanapun hebatnya akal pikiran (dalam menciptakan ilmu pengetahuan teknologi, maupun penguasaan empat kitab suci - beserta ribuan "kitab" derivasinya) tetaplah zhaluman jahula. Menerapkan ilmunya padi, semakin merunduk semakin berisi. Semakin banyak pengetahuan yang dimiliki, semakin "ngrumangsani" (merasai) kebodohan dan kekurangannya diri.
Kedua, karena masalahnya "melangit" maka memasyarakatkan untuk berguru (mencari guru) yang mengadanya di "langit". Sebab, sang "resi" ini di-"pingit" oleh Tuhan sendiri (Satriya Piningit). Mencontoh pengalaman Nabi Musa, sekalipun telah diangkat sebagai rasul/utusan-Nya (yang secara logika sudah sangat sempurna, tidak ada yang melebihi kesempurnaan ilmunya), ternyata masih bersedia ketika diperintah Tuhan berguru pada Nabi Khidhir -- walaupun akhirnya gagal (Q.S. 18:78). Memenuhi pitutur Sultan Agung dalam tembang "Dhandhang Gula". Lamun sira hanggeguru kaki. Amiliha manungsa kang nyata... Bila kamu hendak berguru/pilihlah manusia yang nyata, imamu mubin (imam yang nyata keimanannya istilah lain dari rasul/khalifah-Nya).
Ketiga, bersedia selalu meng-update ilmunya. Tidak pernah merasa puas atas ilmu (pengetahuan dan pengalaman) yang telah diterima. Ibarat berlayar, semakin jauh ke tengah samudra, semakin menyadari betapa luasnya samudra (ilmu) itu. Semakin menyadari pula betapa tak berdayanya diri di hadapan luasnya samudra ilmu Tuhan.
Komentar